Kamis, 13 Oktober 2016

KORUPSI MASIH MERAJALELA



Perkara korupsi, kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislative menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang No.28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang di duga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat Negara yang di harapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka mereka yang harus duduk di kursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi.
Mustahil di pungkiri bahwa korupsi telah menjadi musuh No satu, lawan yang paling membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini. Kenapa korupsi bukannya surut dan malah kian menggila? Salah satunya di sebabkan belum semua penegak hukum berada dalam satu nafas untuk mengedepankan ketegasan dalam memberantas korupsi. Ketegasan sebagai syarat mutlak guna manghadirkan efek jera  masih jauh dari harapan. Sebab ketegasan yang di lakukan oleh penegak hukum saat ini merupakan ketegasan yang menghentak pada suatu waktu tapi melempem di lain waktu.
Indonesia sudah mewabah dengan korupsi. Korupsi, dengan beberapa perkecualian, sudah merajalela hampir di seluruh instansi pemerintahan pusat maupun daerah. Hampir tanpa ada rasa malu lagi bila tersangkut korupsi. Bahkan pihak swasta, non pemerintah, turut bermain mata, kongkalikong, bila berurusan dengan instansi /pegawai pemerintah. Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum mestinya tidak di lepaskan dari kehidupan sosial masyarakat, kareana hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat di sayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegak hukum.
Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tetapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa di berantas sampai keakar-akarnya apabila yang di lakukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitanya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan Negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan Negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa nindonesia sebagai Negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepetinya ini suatu hal yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Oleh karena itu kita mendukung langkah KPK untuk mengajukan bandingsekaligus menyiapkan amunisi baru guna mendidik Atut dalam perkara korupsi lainnya dan tentunya kita berharap pengadilan yang lebih tinggi nanti dapat lebih peka, lebih memiliki kepedulian dalam pemberantasan korupsi karena sudah saatnya mereka memberikan contoh bagaimana seharusnya penegak hukum bersikap menghadapi kasus korupsi, sudah saatnya keadilan di negeri ini di tegakkan kembali, dan sudah saatnya pula kita bersihkan Negara ini dari korupsi.

2 komentar:

  1. Bagus penulis menyampaikan materi dengan sangat baik

    BalasHapus
  2. Dalam penulisan esainya baik dan topik yang di angkat sangat menarik....selamat berkarya untuk kedepannya.

    BalasHapus