Perkara korupsi, kolusi dan
nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,
yudikatif, maupun legislative menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-Undang
No.28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai
kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang di duga melibatkan para
menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain
sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat Negara yang di harapkan menjadi
tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata
justru mereka mereka yang harus duduk di kursi pesakitan dengan tuntutan tindak
pidana korupsi.
Mustahil di pungkiri bahwa korupsi
telah menjadi musuh No satu, lawan yang paling membahayakan bagi kelangsungan
bangsa ini. Kenapa korupsi bukannya surut dan malah kian menggila? Salah
satunya di sebabkan belum semua penegak hukum berada dalam satu nafas untuk
mengedepankan ketegasan dalam memberantas korupsi. Ketegasan sebagai syarat
mutlak guna manghadirkan efek jera masih
jauh dari harapan. Sebab ketegasan yang di lakukan oleh penegak hukum saat ini
merupakan ketegasan yang menghentak pada suatu waktu tapi melempem di lain
waktu.
Indonesia sudah mewabah dengan
korupsi. Korupsi, dengan beberapa perkecualian, sudah merajalela hampir di
seluruh instansi pemerintahan pusat maupun daerah. Hampir tanpa ada rasa malu
lagi bila tersangkut korupsi. Bahkan pihak swasta, non pemerintah, turut
bermain mata, kongkalikong, bila berurusan dengan instansi /pegawai pemerintah.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena
adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum mestinya tidak di
lepaskan dari kehidupan sosial masyarakat, kareana hukum merupakan hasil
cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat.
Namun sangat di sayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam
penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis
utama dalam penegak hukum.
Korupsi ternyata bukan hanya
masalah hukum tetapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama.
Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi
bisa di berantas sampai keakar-akarnya apabila yang di lakukan hanya sebatas
pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitanya semakin banyak peraturan justru
korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan Negara yang berprestasi dalam
hal korupsi dan Negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi
ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa nindonesia sebagai
Negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepetinya ini suatu hal yang aneh
yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Oleh karena itu kita
mendukung langkah KPK untuk mengajukan bandingsekaligus menyiapkan amunisi baru
guna mendidik Atut dalam perkara korupsi lainnya dan tentunya kita berharap
pengadilan yang lebih tinggi nanti dapat lebih peka, lebih memiliki kepedulian
dalam pemberantasan korupsi karena sudah saatnya mereka memberikan contoh
bagaimana seharusnya penegak hukum bersikap menghadapi kasus korupsi, sudah
saatnya keadilan di negeri ini di tegakkan kembali, dan sudah saatnya pula kita
bersihkan Negara ini dari korupsi.
Bagus penulis menyampaikan materi dengan sangat baik
BalasHapusDalam penulisan esainya baik dan topik yang di angkat sangat menarik....selamat berkarya untuk kedepannya.
BalasHapus